Halaman

Senin, 22 Februari 2010

Angklung

Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang berasal dar Tanah Sunda, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.


Asal-usul Angklung

Anak-anak bermain angklung.

Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).

Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya:

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk.

Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Angklung Kanekes

Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.

Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.

Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.

Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.

Angklung Dogdog Lojor

Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.

Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.

Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.

Angklung Gubrag

Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).

Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.

Angklung Badeng

Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.

Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.

Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.

Lagu yang disajikan dalam kesenian angklung gubrag, dibagi ke dalam dua katagori yaitu lagu yang disajikan untuk ritual dan lagu yang disajikan untuk hiburan. Agar lebih jelas dibawah ini dijelaskan pembagian dari dua katagori te4rsebut: 1.Lagu yang disajikan untuk ritual

Menurut Ikin Sodikin, lagu yang disajikan untuk upacara ritual adalah  kidung Sri Lima (wawancara, 24 April, tahun 2004), yang berfungsi sebagai doa atau rajah pembuka yang dinyanyikan oleh seniman  angklung gubrag atau juru pantun setelah bercerita tentang asal-usul kesenian angklung gubrag.

Proses ketika menyanyikan rajah pembuka (Foto: Dokumentasi pribadi) Kidung Sri Lima yang dinyanyikan berfungsi sebagai rajah pembuka, bertujuan meminta maaf kepada arwah dan keramat serta memohon doa pengampunan kepada Allah SWT dengan ucapan astagfirullah haladzim sebanyak 3 kali. Lirik atau rumpaka yang terdapat dalam kidung sri lima, mengungkapkan rasa hormat dan memikat dewi padi/ dewi sri, yaitu “Sri Bodas”, “Sri Beureum”, “Sri Koneng”, “Sri Hejo”, dan “Sri Hideung”.








B. Struktur Penyajian Kesenian Angklung Gubrag Pada bahasan tentang struktur penyajian ini, akan dikupas mengenai susunan penyajian dari awal sampai akhir. Apabila dilihat dengan seksama, kesenian angklung gubrag ini, memiliki struktur pertunjukkan yang hampir mirip dengan kesenian angklung buhun di Baduy, Banten, terutama dalam pola lantai tarian, dan adu kekuatan yang dimainkan oleh dua orang laki-laki, atau ngadu angklung. Sebagai contoh, gambar penyajian ngadu angklung dalam kesenian angklung gubrag.


Penyajian ngadu angklung (Foto: Dokumentasi Pribadi) Dalam penyajian kesenian angklung gubrag terdiri dari tiga tahapan, yaitu : bagian awal disebut bubuka, bagian kedua iring-iringan, dan bagian akhir atau penutup ngadu angklung dan hiburan. Agar lebih jelas, penulis akan menjelaskan bagian-bagian tersebut. 1. Bagian awal atau bubuka Diawali dengan melakukan ziarah kemakam Aki Muhtar, yang dipimpin oleh seorang Ustadz dari Kampung Cipining, serta melakukan doa kepada Allah SWT, agar seluruh pertunjukan terlaksana dengan baik dan tanpa hambatan. Lokasi jalan menuju makam, sekitar 4 km dari Desa Argapura, melalui sawah- sawah, dan bukit turun naik.


Lokasi Makam Aki Muhtar (Foto: Dokumentasi pribadi) Setelah itu, para pemain/ nayaga kembali ke Desa, menuju tempat penyimpanan perangkat waditra kesenian angklung gubrag. Yang berlokasi dirumah kediaman Bapak Sahari (Pemimpin kesenian angklung gubrag generasi ke-6), serta membawa perangkat waditra tersebut ke tengah lapangan terbuka. Mulailah pemimpin angklung membuka pertunjukan tersebut, dikemukakan pula sejarah keberadaan kesenian angklung gubrag dan tujuan dari pelaksanan pertunjukan angklung gubrag. Kemudian menyanyikan “Kidung Sri Lima”.

Pertunjukkan bubuka kidung Sri Lima (Foto: Dokumntasi pribadi) 2.. Bagian ke-2, iring-iringan Pada bagian ini merupakan helaran/ iring-iringan para nayaga dengan memainkan angklung, serta tari-tarian dengan pola lantai vertical dua jajar, dan lingkaran dengan maksud mengelilingi sawah dan kampung, selanjutnya grup dibagi menjadi dua bagian grup kecil. (wawancara, Rusen Dzuhada, 23 April 2004). 3. Bagian ke-3, ngadu angklung Pada bagian ini, adalah bagian penutup dari pertunjukkan. Setelah grup dibagi menjadi dua bagian, kemudian dilakukan atraksi ngadu angklung.dan adu kekuatan sampai akhirnya bagian yang satu atau bagian yang tua jatuh oleh bagian yang kedua atau yang muda. Karena prinsip mereka yang tua harus mengalah dengan yang muda. Dan yang tua harus memberikan kesempatan kepada yang muda. (wawancara, Rusen Dzuhada, 23 April, 2004). C. Repertoar (lagu-lagu) Yang Disajikan Dalam Pertunjukan Angklung Gubrag. Lagu yang disajikan dalam pertunjukan angklung gubrag dalam pembukaan yaitu “Kidung Sri Lima”. Lagu ini dibawakan oleh pemain dalang I, dengan lirik atau rumpaka lagu mengungkapkan rasa hormat, dan pujian, agar dewi sri turun ke bumi, yaitu : Sri Bodas, Sri Beureum, Sri Koneng, Sri Hejo, dan Sri hideung. Kidung dinyanyiakan oleh pemain dalang I, bait demi bait, artinya sesudah satu bait diteruskan dengan permainan angklung, dan begitu seterusnya, sampai semua bait lagu selesai dinyanyikan. Kidung tersebut dinyanyikan dengan cara anggana sekar dan rampak sekar. Syair kidung tersebut adalah sebagai berikut:


_Adulilang lalalea badan rasa digoyong-goyong, digoyong-goyong. Allohuma aci banari itiseng rasa aci larang aci putih sri anten sri manganten kakasihna, nama Sri Bodas, lungguhna dina balung terusna kana urat, manah aya pangawasa mangka runtut mangka rapih jeung kaula.

_ adililang lalalea badan rasa digoyong-goyong, digoyong-goyong allohuma aci banari itiseng rasa aci larang aci putih sri anten sri manganten kakasihna, nama Sri Beureum, lungguhna dina daging terusna kana getih, manah aya rasa jeung cahaya, mangka runtut mangka rapih jeung kaula.

_ Adulilang lalalea badan rasa digoyong-goyong, digoyong-goyong Allohuma aci banari itiseng rasa aci larang aci putih sri anten sri manganten kakasihna, nama Sri Hideung, lungguhna dina janjantung terusna kana sumsum, manah aya pangarti. Mangka runtut mangka rapih jeung kaula

_ Adulilang lalalea, badan rasa digoyong-goyong, digoyong-goyong. Allohuma itiseng rasa aci larang aci putih sri anten sri manganten kakasihna, nama Sri Hejo, lungguhna kana hamperu terusna kana rambut, manah aya sir jeung pikir, mangka runtut mangka rapih jeung kaula.

_ Adulilang lalalea badan rasa digoyong-goyong, digoyong-goyong Allohuma aci banari itiseng rasa aci larang aci putih sri anten sri mangantenten kakasihna, nama Sri Koneng, lungguhna dina roh dopi terusna kana soca manah aya paninggal, mangka runtut mangka rapih jeung kaula

. Selain kidung lagu tersebut di atas, disajikan pula lagu-lagu hiburan dalam pementasan yang berfungsi sebagai hiburan sesudah pementasan ngadu angklung . juga diringi tari-tarian yang perkembangannnya masih tetap itu-itu saja sampai sekarang serta tidak bisa dimodifikasi. D. Perangkat Waditra Yang Dipergunakan Dalam Kesenian Angklung Gubrag. Yang dimaksud dengan perangkat waditra di sini adalah gabungan alat-alat musik tradisional yang dipergunakan dalam pementasan kesenian angklung gubrag. Perangkat waditra tersebut seluruhnya tidak difungsikan sebagai melodi, tetapi difungsikan sebagai pengiring, sebagai ritmis, baik dalam lagu atau taria-tariannya. Dalam penyajiannya waditra tersebut berfungsi sebagai sarana upacara yang berkaitan dengan tradisi setelah panen padi. Adapun perangkat waditra yang dipergunakan dalam kesenian angklung gubrag adalah : 1. Tiga buah angklung kecil yang disebut Roel, atau angklung Corolot, angklung ini berfungsi sebagai pengiring lagu Kidung sri Lima. 2. Dua buah angklung besar yang disebut kurulung I dan kurulung II. 3. Dua buah angklung besar yang disebut engklok I dan engklok II 4. Dua buah angklung besar disebut gancling I dan gancling II 5. Dua buah dog-dog lojor E. Bentuk Waditra Kesenian Angklung Gubrag Menurut kedudukannnya, bentuk angklung di Sunda mempunyai simbol kasih sayang antara orang tua dan anak. Bahwa yang tua harus mengasuh yang muda. jadi yang tua harus selalu menjadi pengayom bagi yang muda. Angklung oleh masyarakat tradisional dijadikan simbol yang bermakna seperti terungkap pada peribahasa “ulah ngelmu angklung” artinya: ….. bahwa kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya sangat besar, namun anaknya kurang memperhatikan orang tuanya; bahkan anak itu perhatiannnya lebih besar kepada anaknya lagi. Tegasnya pribahasa tersebut memberi nashat kepada para remaja jangan sampai mengabaikan orang tuanya masing- masing. (Juju Masunah dkk, hal 21, 2004).

Hal inipun terdapat dalam pertunjukan kesenian angklung gubrag, pada bagian ngadu angklung bahwa yang tua harus mengalah dengan yang muda artinya yang tua harus memberi kesempatan kepada yang muda. Angklung asli yang diciptakan oleh Aki Muhtar dan masyarakat Kampung Cipining disebut angklung corolot (roel) berjumlah tiga buah, dengan hiasan dari bulu ayam leuweung atau ayam bekisar. Angklung asli ini dalam setiap pertunjukan tidak pernah digunakan, yang digunakan adalah angklung duplikat.(wawancara, Ikin sodikin, 23 april, 2004).



Apabila ditinjau dari kepentingan bunyi yang dihasilkan, maka angklung ini termasuk jenis atau golongan alat musik idiophon. Penempatan atau bentuk tabung yang besar akan menghasilkan nada yang rendah atau besar, sedangkan bentuk tabung yang kecil akan menghasilkan nada yang kecil atau tinggi. Seperti halnya bentuk waditra angklung gubrag, sebagian besar memiliki bentuk tabung besar, maka bunyi yang dihasilkan dari angklung tersebut bernada besar atau rendah. Sedangkan angklung corolot memiliki tabung kecil, maka suara atau bunyi yang dihasilkannya pun memiliki nada yang kecil atau tinggi. Menurut hasil penilitian penulis, waditra angklung gubrag memiliki jenis ukuran paling besar dari pada lainnya, yang terdiri dari beberapa jenis angklung, yaitu: 1. Jenis Angklung Kurulung I. Angklung ini terdiri dari tiga ruas bambu. Angklung yang ruas bambunya tinggi dan besar disebut indung, memiliki ukuran 108 Cm. Anak I, memiliki ukuran 80 Cm, sedangkan anak II memiliki ukuran 38 Cm. Tinggi keseluruhan dari jenis angklung kurulung ini adalah 135 Cm, dengan diameter tabung 20 Cm. Contoh bentuk angklung kurulung I.


2. Jenis Angklung Kurulung II. Angklung ini terdiri dari tiga ruas bambu, memiliki tinggi keseluruhan 162 cm, ukuran tabung indung 147 Cm, ukuran tabung anak I 74 cm, ukuran anak II 43 cm.

Buncis

Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.

Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.

Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.

Dari beberapa jenis musik mambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (19081984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.

Sumber rujukan

Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandun

Kacapi

Kacapi merupakan alat musik Sunda yang dimainkan sebagai alat musik utama dalam Tembang Sunda atau Mamaos Cianjuran dan kacapi suling.

Kata kacapi dalam bahasa Sunda juga merujuk kepada tanaman sentul, yang dipercaya kayunya digunakan untuk membuat alat musik kacapi.


Bentuk

Rincian unsur nada dalam sebuah Kacapi Parahu


Kacapi Parahu adalah suatu kotak resonansi yang bagian bawahnya diberi lubang resonansi untuk memungkinkan suara keluar. Sisi-sisi jenis kacapi ini dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai perahu. Di masa lalu, kacapi ini dibuat langsung dari bongkahan kayu dengan memahatnya.

Kacapi siter merupakan kotak resonansi dengan bidang rata yang sejajar. Serupa dengan kacapi parahu, lubangnya ditempatkan pada bagian bawah. Sisi bagian atas dan bawahnya membentuk trapesium.

Untuk kedua jenis kacapi ini, tiap dawai diikatkan pada suatu sekrup kecil pada sisi kanan atas kotak. Mereka dapat ditala dalam berbagai sistem: pelog, sorog/madenda, atau salendro.

Saat ini, kotak resonansi kacapi dibuat dengan cara mengelem sisi-sisi enam bidang kayu.

Details of pawn-bridges of a Kacapi ParahuFungsi
Kacapi indung and kacapi rincik

Menurut fungsinya dalam mengiringi musik, kacapi dimainkan sebagai:

  1. Kacapi Indung (=kacapi induk); dan
  2. Kacapi Anak atau Kacapi Rincik

Kacapi indung

Kacapi indung memimpin musik dengan cara memberikan intro, bridges, dan interlude, juga menentukan tempo. Untuk tujuan ini, digunakan sebuah kacapi besar dengan 18 atau 20 dawai.

Kacapi rincik

Kacapi rincik memperkaya iringan musik dengan cara mengisi ruang antar nada dengan frekuensi-frekuensi tinggi, khususnya dalam lagu-lagu yang bermetrum tetap seperti dalam kacapi suling atau Sekar Panambih. Untuk tujuan ini, digunakan sebuah kacapi yang lebih kecil dengan dawai yang jumlahnya sampai 15.

Penalaan dan Notasi

Kacapi menggunakan notasi degung. Notasi ini merupakan bagian dari sistem heptachordal pelog. Lihat tabel berikut:

Pelog degung Sunda Pelog Jawa
1 (da) 6
2 (mi) 5
3 (na) 3
4 (ti) 2
5 (la) 1

Silsilah Ngaran Patempatan Di Tatar Sunda

Sempalan lagu “Borondong Garing” di luhur téh ngandung déskripsi sawatara ngaran tempat nu aya di Tatar Sunda. Demi nataan ngaran-ngaran tempat téh ilaharna sok disebut toponimi. Nurutkeun kajian folklore, toponimi téh bagian tina élmu onomastika (onomastics), anu ulikanana ngawengku di antarana baé: méré ngaran jalan, ngaran atawa jujuluk jalma, ngaran kadaharan, ngaran bubuahan kaasup asal-usul (legénda) ngaran hiji tempat dumasar kana ’sajarah’ ngajanggélékna.

Nataan ngaran tempat tangtu bakal loba rambat kamaléna lantaran ngajujut ngaran tempat mah teu cumpon ku nyawang ngan tina hiji aspék baé. Nya sawadina kudu dijujut deuih rupa-rupa informasi nu nyampak disatukangeun kaayaan éta tempat. Kumaha pakuat-pakaitna antara ngaran tempat jeung éta informasi? Ilustrasi di handap saeutikna baris méré gambaran anu écés.

Upamana, mun ti Subang rék ka Bandungkeun urang tangtu bakal ngaliwatan Tanjakan Émén. Éta tempat téh pernahna di kebon entéh, méméh gerbang Tangkuban Parahu. Mun dititenan éta ngaran tempat téh ngandung sababaraha informasi. Kahiji, pangna disebutkeun Tanjakan Émén nurutkeun setting fisikal (morfogéologis atawa kontur permukaan bumi) lantaran éta jalan téh nanjak (nanjeur). Kadua, di éta tanjakan téh nurutkeun setting sosial, cék sakaol mah (kira-kira taun 70-an) kungsi aya kajadian nu matak geunjleung. Di éta tempat, kungsi aya supir ompréngan Bandung-Subang cilaka, ngan duka alatan tabrakan duka tigebrus, nepi ka maotna. Ngaranna Émén. Ari cék mitos (setting kultural), lamun nu rék ngaliwat ka éta tempat kudu ngalungkeun roko ngarah salamet.

Kasus-kasus modél kitu téh bisa baé kapanggih di unggal tempat. Tina rupa-rupa informasi nu diébréhkeun dina ilustrasi téh tétéla ngaran tempat téh ngurung kana aspék-aspék fisikal, sosial jeung kultural ngeunaan éta tempat.

Mun dijujut, di urang (Tatar Sunda) teu saeutik ngaran tempat nu diasosiasikeun jeung rupa-rupa talajak alam (setting fisikal) nu pernah aya. Aya sababaraha pola nu maneuh raket jeung asosiasi, biasana ku cara matalikeun ngaran tempat jeung talajak alam téa. Éta pola téh bisa dicirian ku: kahiji, pola linier nyaéta ngaran tempat sacara langsung diadaptasi tina talajak alam. Demi talajak alam téh bisa ngawengku aspék hidrologis, aspék morfogéologis (kontur permukaan taneuh) jeung aspék biologis. Ari nu dimaksud pola nu kadua nyaéta ngaran tempat nu dicokot tina dua atawa leuwih boh talajak alam boh aspék sosiokultural dibarungkeun jadi hiji ngaran (konsép).

Ngaran patempatan nu ngindung kana aspék hidrologis di urang mah teu wudu beungharna. Mun cek istilah Karl A. Witfogel (urang Jerman) mah urang Sunda téh kakolomkeun kana hydrolic society, masarakat nu teu leupas tina cai. Ari kituna mah geus pada-pada maphum yén tanah Sunda téh cenah kawentar daérah nu subur ma’mur. Ari salasahiji ciri suburna taneuh téh nyaéta ku cur-corna cai. Ceuk nu resep heureuy téa mah cenah diciptakeunana Tatar Sunda ku Gusti Alloh téh ngadamelna ogé bari “marahmay, tur imut ngagelenyu”.

Geura urang guar, aspek hidrologis nu patali jeung pola linier, ngaran Andir upamana. Éta kecap téh seuhseuhanana mah kalawan torojogan diadaptasi tina talajak alam aspék hidrologis, anu saharti jeung huluwotan (springs), séké atawa cinyusu. Disawang tina jihat sajarah, munasabah Andir (lebah Bandara Husen Sastranegara) téh baheulana teu bina ti sumur. Ku lantaran éta tempat téh subur ku cai, Andir téh harita jadi tempat anu kagiridig. Jadi tempat pangimpungan jalma-jalma nu lumampah jauh boh nu badarat boh nu tumpak kuda pikeun ngaso jeung ngaleungitkeun hanaang. Lila-lila mah éta tempat téh jadi ramé, jadi pangjugjugan ti mana-mana. Nilik kana talajak alam nu aya di tatar Sunda, bawirasa mun di unggal tempat aya lembur nu dingaranan Andir. Di éta tempat bakal manggihan kalawan langsung aspék hidrologis anu disebut cinyusu, séké nu pernahna di suku gunung atawa lamping. Conto pola linier nu pakait jeung aspek hidrologis séjénna upamana ngaran: Empang, Parigi, Dano, Bendungan; Léngkong; Parung; Dermaga, jsté.

Ari pola nu kadua, lantaran gabungan téa tina dua aspek atawa leuwih (aspek hidrologis jeung aspék séjén kaasup rupaning istilah) di antarana: ci(cai): Ci-malaka; séké: Sékéloa; leuwi: Leuwidaun; curug: Curugsigay; bantar: Bantarmara; muara: Muararajeun; balong: Balonggedé; sawah: Sawahkurung; parakan: Parakansaat; situ: Situaksan; émpang: Émpangsari; solokan: Solokanjeruk; kali: Kalipucang; karang: Karangnini; ranca/rawa: Rancapurut, Rawa- badak; sagara: Sagaraanakan; sumur: Sumurbarang; talaga: Talagawarna; tambak: Tambaksari; lebak: Lebaksiuh; parigi: Parigimulya jrrd.

Tah lebah akumulasi tina ngaran-ngaran tempat di Tatar Sunda nu ditataan di luhur, bawirasa mun diproséntasekeun téh tangtu bakal didominasi ku ngaran nu dimimitian ku kecap ci. Naon sababna? Perlu aya panalungtikan nu leuwih jero.

Lian ti aspék hidrologis, ngaran tempat téh sok dipatalikeun ogé jeung aspék morfogéologis (dumasar kana kontur permukaan bumi) deuih. Ari pola linier nu patali jeung aspek morfogeologis di antarana: Punclut/Penclut, Legok, Tegal, Talun; Genténg jsté. Sedengkeun pola nu ngindung ka nu kadua Lemah Neundeut, upamana. Éta ngaran téh diadaptasi tina kaayaan lemah (taneuh) anu neundeut akibat ayana rohang di jero taneuh anu kosong (téktonik) nu ahirna ngareunteutkeun struktur taneuh. Conto-conto séjénna ngaran tempat nu diadaptasi tina aspék morfogéologis nu ngindung kana pola nu kadua, upamana baé: tina kecap tegal jadi ngaran Tegalkalong; kebon: Kebonjukut; cadas: Cadasngampar; pasir: Pasirjati; batu: Baturéok; guha: Guhapawon; legok: Legokhuni; bojong: Bojongméron; ujung: Ujungkulon; geger: Gegerkalong; tanjung: Tanjungsari; pulo: Pulomajeti, jrrd.

Kasus nu spésifik, deskripsi ngaran tempat nu patali jeung aspék morfogéologis bakal leubeut kapanggih di daérah pakidulan Tatar Sunda nu manjang ka tebéh wétan. Éta tempat téh mangrupa kawasan pagunungan anu katelah Southern Mountains, nu nuduhkeun hiji daérah pagunungan (non vulkanik). Tina kontur taneuh modél kitu munasabah mun di éta tempat loba nu dicokot tina talajak alam. Kota Tasikmalaya, apan salah sahiji cirina loba ngaran tempat nu maké ngaran gunung, nepi ka sohor ku jujuluk the ten thousand hill of Tasikmalaya. Kesan pernah ayana talajak alam modél kitu téh bisa diidentifikasi ngaliwatan ngaran tempat nu maké kecap gunung. Upamana bagian wilayah kota nu dibéré ngaran: Gunung sabeulah, Gunung lipung, Gunungroay, Gunung sari, Gunung gadog, Gunung pereng, Gunung awi, Gunung jambé, Gunung putat, Gunung Ki-Cau, Gunung Pongpok jrrd.

Sedengkeun aspek biologis sok dipatalikeun jeung lingkungan alam (sistem ékologis) nu aya di sabudeureunnana. Ngaran tempat biasana dicirian atawa ngarujuk kana aspek flora jeung fauna. Upamana flora, nyaéta tangkal nu aya atawa nu hirup di éta tempat. Geura urang pedar nu patali jeung pola linier dina aspek biologis. Upamana ngaran Kosambi. Mungkin baé éta tempat téh harita mah can boga ngaran. Pikeun kapentingan nuduhkeun éta tempat, kabeneran deuih di dinya téh aya tangkal kosambi nya tuluy ditarelah baé ngaran Kosambi, malah nepi ka ayeuna. Di tatar Sunda bawirasa asa loba pisan ngaran tempat nu maké ngaran tutuwuhan/tangkal tina pola linier. Geura urang tataan ngaran-ngaranna, saperti: Garut, Bayongbong, Sentul, Kosar, Katapang, Dangdeur, Calingcing, Dukuh, Rambutan, Balingbing, Cangkuang, Baros, Loa, Menteng, Bintaro, Bencoy, Jati, Paséh, Kopo, Kirisik, Haramay, Petir, Kawista, Kroya, Gorda(h), Gempol; Gandasoli; Gambir; Gadog, Jamblang, Jambu, Jampang, Darangdan, Bugel, Bihbul. Gombong, jrrd.

Demi pola nu kadua, nya eta Haurkonéng, Haur Pancuh, Haur Pugur, Buahdua, Warudoyong, Kalapanunggal, Kasomalang, Kiaracondong, Gintunglempeng, Jatitujuh, Kawungluwuk, Pakuhaji, Kadungora, Rengasdengklok, jrrd. Kaasup ngaran tempat séjénna, Dungusmaung (dungus atawa rungkun; maung), Leuweungtiis (leuweung; tiis (aspék klimatologis)), Pengkolan Asem, Warung Togé, Leuwilaisah, jrrd.

Kumaha ari ngaran tempat nu dicokot tina aspék sosial? Ngaran Banceuy (lebah alun-alun Bandung beulah kalér) upamana. Banceuy téh sacara étimologis ngabogaan harti kompléks kuda, kaasup istal jeung nu ngurusna. Ieu patempatan téh gelarna sabada aya jalan raya pos (Grote Postweg) nu ngembat ti Anyer ka Panarukan téa. Ieu Banceuy téh sok dipaké tempat pangreureuhan atawa bagantina kuda pikeun kapentingan transportasi jeung kaperluan pos (pasuratan) harita. Mun aya surat atawa barang ti Batawi kudu dianteurkeun ka Semarang, nya tangtu baé moal kuateun mun kudu meleter kuda hiji nepi ka Semarang. Munasabah pisan upama ngaran Banceuy téh aya méh di tempat (kota) nu kaliwatan ku éta jalan.

Conto séjén, Balubur. Apan éta ogé teu leupas tina aspék sosial jaman pangawulaan. Harita balubur téh ngaran tempat aya dina kakawasaan bupati (boga hak istiméwa). Mun cara ayeuna mah meureun sarua jeung kompléks perumahan pejabat (para menak) kabupatén. Conto séjénna nu patali jaman pangawulaan: Patrol, Karéés, Régol, Pamager sari, Pungkur jsté. Atuh ngaran-ngaran nu maké kecap kekebonan luyu jeung tangkal nu dipelakna (lelewek Bandung), upamana: Kebon Kalapa, Kebon Jukut, Kebon Kawung jrrd. éta ogé teu leupas tina aspék sosial harita. Kebon kopi di Ciaruteun (Bogor), apan teu leupas tina sétting sosial malah kaasup setting kultural, nyaéta tempat dkapanggihna prasasti batutulis Kebon Kopi. Éta tempat téh ngait kana jaman ‘tanam paksa’ Culturstelsel nu ngawajibkeun masarakatna marelak kopi. Harita leuweung dibabad pikeun dijadikeun kebon kopi. Nepi ka ayeuna éta tempat téh nelah kampung Kebon kopi. Titinggal cultur stelsel téh, nu abadi nepi ka kiwari sok dikarawihkeun, cenah:

Dengkleung déngdék, buah kopi raranggeuyan

Ingkeun anu déwék ulah pati diheureuyan.

Ari ngababad leuweung pikeun kapentingan pitempateun ilaharna sok disebut ngababakan. Mun rék ngababakan tara leupas sistem kapercayaan masarakatna ngeunaan hadé-goréngna hiji tempat. Tina sistem pangaweruh masyarakatna kana panataan patempatan nya lahir istilah-istilah topografi saperti: galudra ngupuk, pancuran emas, satria lalaku, kancah nangkub jsté. Tah lembur meunang muka anyar téh sok ditarelah wé kampung babakan.

Di Bandung gé apan sakitu ngaleuyana ngaran tempat nu maké kecap babakan, saperti Babakan Surabaya, Babakan Ciamis, Babakan Sumedang, Babakan Ciparay jsté. Éta ngaran-ngaran tempat téh raket pisan patalina jeung talajak sosial waktu ngadegkeun éta tempat. Babakan Surabaya upamana, dalit pisan jeung talajak sosial, ku kajadian dipindahkeunana instalasi militér, pabrik senjata/mesiu nu sok disebut Artillerie Contructie Winkel (ACW) ti Ngawi jeung Surabaya ka lelewek Kiaracondong. Ayeuna mah éta pabrik senjata téh katelah PINDAD. Ti dinya loba pagawé ACW (urang Surabaya jeung Ngawi) nu pindah ngaradon “bedol désa” ka Tatar Sunda. Cék Haryoto Kunto, nya ti harita aya kacapangan dina wangun sisindiran keur ngageuhgeuykeun urang Jawa nu unina “Jawa Kowék dagang Apu, datang poék teu diaku”. Ieu geuhgeuyan téh lantaran loba “bedoler” datangna ka Bandung kapeutingan. Boa boa pedah naék spur “Si Kuik” kawasna mah, anu ngadided majuna jeung loba eureunna téa. Sadatangna ka Bandung, tuluy baé muka lembur, arimah-imah, nya katelah wé babakan Surabaya.

Masih cék Haryoto, aya talajak sosial anu unik sabudeureun kota Bandung harita. Bawirasa ayeuna ogé masih dipaké. Nyaéta sebutan ‘dayeuh’. Dayeuh téh mangrupa istilah anu populér pikeun ngarujuk kota Bandung. Jadi nyaba ka ‘dayeuh’ maksudna indit ka Bandung.

Ari sétting kultural nyaéta ngurung kana ngaran tempat nu dipatalikeun jeung unsur-unsur gagasan atawa ide saperti: aspék mitologi, folklore, sistem kapercayaan masarakatna. jsb. Najan dina émprona mah dalit jeung seting sosial. Saupama ngajujut ngaran tempat, teu kakobet ku cara boh setting fisikal, boh setting sosial nya tarékah pamungkas téh maké setting kultural. Lamun loba ngaran tempat/kota di tatar Sunda nu teu bisa dijujut maké perspéktif fisikal, nya wayahna kudu dibantuan ku mitologi, folklore jeung sistem kapercayaan. Majaléngka pan ngaitna téh jeung mitologi Nyi Rambut Kasih, Bandung nyantélna jeung carita legénda Sangkuriang, Sumedang jeung étimologi Insun Medal jste. Réa kénéh ungkabeun mah saperti Tanjakan Sahrudin? Dago Jawa? Selagedang? Gado Bangkong? Curug Pangantén? Gunung Tampomas? Gunung Galunggung? jrrd. Lebah dieu perlu metakeun jampé pamaké téh. Dina nyukcruk ngaran tempat, informasina téh biasana nyamuni disatukangeun budaya nu jadi bagian integral tina kahirupan masarakatna.

Nyukcruk sarsilah ngaran Plumbon, Karapyak, Palimanan jste. mun kurang-kurangna urang apal kana kasangtukang budaya, tangtu bakal lebeng, bakal poékkeun. Nya cara maluruhna, kahiji ku jalan mesék éta kecap sacara étimologis; nu kadua dipatalikeun jeung aspék sosial budaya jaman harita ngeunaan éta tempat, saperti conto kasus Tanjakan Émén di luhur.

Geura urang pesék, upamana Palimanan. Naon sababna bet dingaranan Palimanan? Singhoréng aya sasakalana. Kecap palimanan téh sacara étimologis asal kecap tina liman (Kawi) nu hartina gajah, dibéré rarangkén barung (konfiks) pa-an nu hartina tempat. Sabada dirarangkenan éta kecap ngandung harti tempat nu dicicingan ku gajah. Ceuk légégna mah komplék gajah.

Naha maké aya gajah di éta tempat? Demi kota Palimanan, aya di daérah bawahan karajaan Cirebon (Sultan Cirebon). Ari Sultan téh nya raja téa. Demi nu jadi raja harita, (patalina jeung kontéks sosiokultural mitis-magis) boga anggapan yén miara gajah (satwa kalangenan) mangrupa salahsahiji kasaktén anu gedé pisan pangaruhna kana kalungguhan jeung komara éta raja. Nurutkeun B. Anderson dina seuhseuhanana tradisi pikiran politik Jawa (Sunda) kacida muhit jeung mentingkeunana kana kamampuh museurkeun kasaktén. Tah lebah miara satwa di lingkungan karaton/karajaan, dianggap bisa népakeun karakter nu sarua ka raja. Mawat gajah (salaku mitos) dipercaya bisa ngalambangkeun kaagungan, kakuatan sarta kasaktén éta raja/sultan.

Tina pedaran di luhur, katitén yén ngaran-ngaran pilemburan husus di Tatar Sunda teu sagawayah. Unggal ngaran tempat téh ngabogaan kasangtukang kasajarahan (sasakala) nu patali jeung setting fisikal, setting sosial jeung setting kultural. Nya kekecapan karuhun urang yén lembur matuh, dayeuh maneuh banjar karang pamidangan téh ninggang dina kekecrék. ***

Tina Cupumanik No.17/2004

Tujuh Welas Pupuh

Kanggo nyusun rumpaka pupuh, kedah ditarekahan supados luyu sareng jiwa pupuh nu tujuh welas nya eta:

  1. Asmarandana, ngagambarkeun rasa kabirahian, deudeuh asih, nyaah.
  2. Balakbak, ngagambarkeun heureuy atawa banyol.
  3. Dangdanggula, ngagambarkeun katengtreman, kawaasan, kaagungan, jeung kagumnbiraan.
  4. Durma, ngagambarkeun rasa ambek, gede hate, atawa sumanget.
  5. Gambuh, ngagambarkeun kasedih, kasusah, atawa kanyeri.
  6. Gurisa, ngagambarkeun jelema nu ngalamun atawa malaweung.
  7. Juru Demung, ngagambarkeun nu bingung, susah ku pilakueun.
  8. Kinanti, ngagambarkeun nu keur kesel nungguan, deudeupeun, atawa kanyaah.
  9. Ladrang, ngagambarkeun nu resep banyol bari nyindiran.
  10. Lambang, ngagambarkeun nu resep banyol tapi banyol nu aya pikiraneunana.
  11. Magatru, ngagambarkeun nu sedih, handeueul ku kalakuan sorangan, mapatahan.
  12. Maskumambang, ngagambarkeun kanalangsaan, sedih bari genes hate.
  13. Mijil, ngagambarkeun kasedih tapi bari gede harepan.
  14. Pangkur, ngagambarkeun rasa ambek nu kapegung, nyanghareupan tugas nu beurat.
  15. Pucung, ngagambarkeun rasa ambek ka diri sorangan, atawa keuheul kulantaran teu panuju hate.
  16. Wirangrong, ngagambarkeun nu kawiwirangan, era ku polah sorangan.
  17. Sinom, ngagambarkeun kagumbiraan, kadeudeuh.

  1. PUPUH ASMARANDANA

    (Ngagambarkeun rasa deudeuh, asih, nyaah, birahi)

    PIWURUK SEPUH

    Ngariung di tengah bumi,

    pun biang sareng pun bapa,

    jisim abdi diuk mando,

    husu ngupingkeun pituah,

    piwejang ti anjeunna,

    pituduh laku rahayu,

    piwejang sangkan waluya.

  2. PUPUH BALAKBAK

    (Ngagambarkeun heureuy atawa banyol)

    DAYEUH BANDUNG

    Dayeuh Bandung kiwari teuing ku rame-araheng,

    gedong-gedong pajangkung-jangkung wangunna-alagreng,

    tutumpakan-tutumpakan balawiri lalar liwat-garandeng.

  3. PUPUH DANGDANGGULA

    (Ngagambarkeun katengtreman, kawaasan, kaagungan, kagumbiraan)

    MILANG KALA

    Dinten ieu estu bingah ati,

    ku jalaran panceg milang kala,

    kenging kurnia ti Alloh,

    rehing nambahan taun,

    tepung taun umur sim abdi,

    henteu weleh neneda,

    ka Gusti Nu Agung,

    malar umur teh mangpaat,

    tebih bahla turta pinarinan rijki,

    sumujud ka Pangeran.

  4. PUPUH DURMA

    (Ngagambarkeun rasa ambek, gede hate, sumanget)

    LEMAH CAI

    Nagri urang katelah Indonesia,

    diriksa tur dijaring,

    sumirat komarana,

    berkahna Pancasila,

    ageman eusining nagri,

    yu sauyunan,

    ngawangun lemah cai.

  5. PUPUH GAMBUH

    (Ngagambarkeun kasedih, kasusah, kanyeri)

    KADUHUNG

    Kaduhung sagede gunung,

    kuring sakola teu jucung,

    lalawora resep ulin,

    hanjakal tara ti heula,

    ayeuna kari peurihna.

  6. PUPUH GURISA

    (Ngagambarkeun nu ngalamun atawa malaweung)

    SI KABAYAN

    Si Kabayan lalamunan,

    pangrasa bisa nyetiran,

    motor atawana sedan,

    poho keur eundeuk-eundeukan,

    na dahan emplad-empladan,

    gujubar kana susukan.

  7. PUPUH JURU DEMUNG

    (Ngagambarkeun nu bingung ku kalakuan sorangan)

    ADIGUNG

    Lolobana mungguh jalma,

    embung hina hayang agung,

    hayang hirup mukti,

    tapina embung tarekah,

    tinangtu mo bakal nanjung.

  8. PUPUH KINANTI

    (Ngagambarkeun nu nungguan, deudeupeun atawa kanyaah)

    KANYAAH INDUNG

    Kanyaah indung mo suwung,

    lir jaladri tanpa tepi,

    lir gunung tanpa tutugan,

    asihna teuing ku wening,

    putra teh didama-dama,

    dianggo pupunden ati.

  9. PUPUH LAMBANG

    (Ngagambarkeun anu lohong banyol, tapi pikiraneun)

    WAWANGSALAN

    Dialajar wawangsalan,

    saperti tatarucingan,

    cik naon atuh maksudna,

    teangan naon wangsalna,

    gedong ngambang di sagara,

    ulah kapalang diajar,

    keuyeup gede di lautan,

    kapitineung salawasna.

  10. PUPUH LADRANG

    (Ngagambarkeun anu banyol tapi bari nyindiran)

    MOKAHAAN

    Aya hiji anak bangkong leutik,

    mokahaan,

    maksudna ngelehkeun sapi,

    nahan napas antukna bitu beuteungna.

  11. PUPUH MAGATRU

    (Ngagambarkeun nu sedih, bingung, handeueul atawa mapatahan)

    KASAR - LEMES

    Dupi irung lemesna teh nya pangambung,

    pipi mah disebat damis,

    upami buuk mah rambut,

    ceuli sok disebat cepil,

    kasarna angkeut mah gado.

  12. PUPUH MASKUMAMBANG

    (Ngagambarkeun kanalangsaan, sedih bari ngenes hate)

    BUDAK JAIL

    Anak manuk dikatepel budak jail,

    jangjangna getihan,

    rek hiber teu bisa usik,

    duh manusa kaniaya.

  13. PUPUH MIJIL

    (Ngagambartkeun kasedih tapi gede harepan)

    NUNGTUT ELMU

    Najan cicing nya di tepiswiring,

    kade ulah bodo,

    kudu tetep nungtut elmu bae,

    sabab jalma nu loba pangarti,

    hirup tangtu hurip,

    mulus tur rahayu.

  14. PUPUH PANGKUR

    (Ngagambarkeun nu gede ambek atawa nyanghareupan tugas beurat)

    KA SAKOLA

    Seja miang ka sakola,

    rek diajar nambahan elmu pangarti,

    pigeusaneun bekel hirup,

    sabab mungguhing manusa,

    kudu pinter beunghar ku elmu panemu,

    komo jaman pangwangunan,

    urang kudu singkil bakti.

  15. PUPUH PUCUNG

    (Ngagambarkeun nu ambek ka diri sorangan atawa keuheul kulantaran teu panuju hate)

    TATAKRAMA

    Mangka inget tatakrama sopan santun,

    tanda jalma iman,

    nyarita jeung amis budi,

    da basa mah lain barang anu mahal.

  16. PUPUH WIRANGRONG

    (Ngagambarkeun anu kawiwirangan, era ku polah sorangan)

    SIEUN DORAKA

    Kuring moal deui-deui,

    gaduh panata nu awon,

    ngabantah nu jadi indung,

    sieun dibendon ku Gusti,

    kawas Dalem Boncel tea,

    doraka ti ibu-rama.

  17. PUPUH SINOM

    (Ngagambarkeun kagumbiraan, kadeudeuh)

    TATAR SUNDA

    Tatar Sunda estu endah,

    lemah cai awit jadi,

    sarakan asal gumelar,

    amanat Ilahi Robbi,

    titipan nini aki,

    wajib dijaga dijungjung,

    basa katut budayana,

    padumukna luhung budi,

    insya-Allah tatar Sunda karta harja.

Gapuraning Gusti, 1992.

Rumpaka Pupuh Asmarandana, Dangdanggula, Kinanti, Sinom Tina Buku Wulang Krama karya Drs. R.H. Hidayat Suryalaga.

Arsitektur Imah Sunda

BUBUKA

Upama urang miang ka Bali, Toraja, Minangkabau, Batak atawa Irian, kalawan gampang urang bisa ningal imah atawa wangunan anu has daerahna. Malah hal ieu jadi ciri mandiri (trade mark) pikeun daerahna masing-masing. Bangsa asing nu datang ka Indonesia, kacida katajina ku rupa-rupana arsitektur imah nu aya di Indonesia.

Naha ari Tatar Sunda mibanda arsitektur imah?

Tangtu aya jeung miboga wangun imah anu ngabogaan ciri khas Tatar Sunda, saupamana wae ti mimiti imah anu pangsaderhanana tepi ka anu cukup rumit nyieunna. Conto wangunan moderen anu dasar arsitekturna ngagunakeun arsitektur Sunda pangpangna wangun suhunanana, di antarana suhunan Kampus ITB jeun sabagian suhunan Gedong Sate. Wangunan Pendopo Kabupaten Bandung jeung sababaraha Wangunan Pendopo anu aya di Tatar Sunda mah ilaharna ngagunakeun suhunan anu ngajadi ciri Wangunan Arsitektur Imah Sunda.

SAWATARA TEMPAT ANU MASIH KENEH AYA IMAH ARSITEKTUR SUNDA

Upama dipapay leuwih jauh conto arsitektur nu asli Sunda tur dina wangunan nu masih keneh saderhana, nya eta wangunan imah di:

- Baduy (Banten Kidul)

- Kampung Naga (Tasikmalaya)

- Kampung Pulo (Garut)

- Kampung Genereh (Sumedang)

- Kampung Palasah (Majalengka)

- Kampung Gabus (Cirebon)

Di Baduy, Kampung Naga jeung Kampung Pulo, beunang disebutkeun wangunan imah-imahna masih keneh asli tradisional. Tapi di Kampung Genereh, Palasah jeung Gabus mah, ngan kari hiji-dua bae, kitu oge kaayanana geus loba anu ruksakna.

CIRI-CIRI JEUNG FUNGSI ARSITEKTUR IMAH SUNDA TRADISIONAL

Nurutkeun panalungtikan tim ahli anu dijejeran ku Prof. Dr. Kusnaka Adimiharja, Spk, gawe bareng jeung Kanwil Pariwisata Propinsi Jawa Barat, ciri-ciri jeung fungsi imah Sunda teh bisa disawang tina:

- Aspek Sosial Budaya jeung Arsitektur

- Ciri Wangunan anu Has

Kateranganana upama dipedar leuwih jelas mah kieu:

Aspek Sosial Budaya jeung Arsitektur

Keur urang Sunda, imah teh lain ngan ukur pikeun tempat cicing, atawa tempat istirahat wungkul, tapi oge boga harti anu leuwih lega, nyakup sosial, ekonomis jeung jadi puseur atikan budaya kaasup pendidikan moral, sarta dianggap suci (sakral). Nya di jero imah pisan tumuwuhna hubungan sosial (sosialisasi) anggota kulawarga. Di imah pisan tempat migawe hal-hal nu sipatna ekonomis (home industri). Di imah pisan hal-hal nu tumali jeung atikan kabudayaan ku indung-bapa diajarkeunana ka anak-anakna. Kitu deui imah teh dianggap suci (sakral), disaruakeun jeung alam mikro (bumi sok disebut imah), nu dianggap miniaturna tina makro (dunya = anu oge disebut bumi). Jadi bumi (imah) teh dianggap sarua jeung bumi (dunya).

Eta sababna upama hiji imah dipake hal-hal nu teu hade atawa dipake hal-hal anu kotor, bakal dianggap ngaruksak kasakralan imah, imahna jadi “sial”. Ceuk urang Sunda mah imah teh mangrupa tempat anu suci nu kudu dijaga kasucianana.

Ciri Wangunan anu Has

Ciri has imah Sunda nyaeta panggung (aya kolongna). Bedana jeung imah panggung seler bangsa sejen (Batak, Dayak, Minangkabau), nyaeta luhurna kolong imah Sunda mah henteu pati luhur (40-60cm), siga kolong imah urang Jepang. Upama aya imah di Tatar Sunda anu lain panggung, tapi ngupuk saperti di daerah Tatar Kaler eta mah pangaruh Budaya Jawa. Hateupna (suhunan) imah di Tatar Sunda rupa-rupa aya Julang Ngapak, Jogo Anjing, Heuay Badak, Jure Limasan jeung Leang-Leang. Di antara nu disebutan bieu anu has Sunda mah nyaeta nu disebut suhunan Julang Ngapak (Sulah Nyanda, Julang Wirangga), ari nu sejenna mah kapangaruhan ku kabudayaan batur (suhunan Leang-Leang kapangaruhan ku Arsitektur Cina, Limasan pangaruh Jawa).

Ciri sejenna nya eta ayana capit hurang (cagak gunting), nyaeta babagian tungtung hateup (suhunan) anu dirupakeun cagak atawa bisa oge saperti tanduk munding, malah aya anu dibuleudkeun (lingkaran), biasana tina kai, atawa awi anu dibulen ku injuk. Gunana cagak gunting diantarana pikeun nyegah cai hujan bocor ka jero imah, jadi saperti fungsina talang. Jaba ti eta cagak gunting teh dianggap oge ngandung tanaga gaib pikeun nyegah pangaruh negatip.

Ari wangun (bentuk) imah, biasana pasagi panjang. Latena make palupuh awi, bilikna tina awi dianyam atawa ku sasag. Rangkay imah dijieunna tina kai. Make tatapakan tina batu. Rohangan imah dibagi nurutkeun babagian anu husus. Nyaeta bagian hareup tepas (emper) pikeun ngumpulna semah lalaki. Enggon (kamar sare) jeung bagean dapur (hawu jeung padaringan gudang tempat neundeun beas = pabeasan), bagean tukang ieu mah pikeun awewe. Pangpangna padaringan (goah, pabeasan) kacida dilarangna lalaki asup ka daerah eta.

PANUTUP

Konsep Arsitektur imah Sunda nu mibanda konsep dasar nu filosofis, kacida hadena upama bisa ditransformasikeun kana arsitektur imah nu moderen, nu luyu jeung kapribadian bangsa. Tangtu bae kudu diluyukeun jeung kamajuan teknologi bari henteu lesot tina pandangan hirup jeung filsafah kabudayaan Sunda. Saenyana henteu ngan dina arsitektur bae ayana falsafah Sunda teh tapi oge dina aspek-aspek budaya sejenna, upamana bae dina seni Cianjuran, Tari, Penca, Tata Boga (kadaharan), Tata Busana, jeung dina rupa rupa seni budaya sejenna. Urang sarerea, pangpangna para nonoman kudu leukeun neangan pribadi falsafah karuhun urang, sangkan bisa katransformasikeun dina kahirupan moderen. Muga bae pareng kawujudkeun.

(LISDA - sumber diambil dari berbagai literature)

Koment Nganggo Pesbuk